Mengapa Pemindaian Retina Bisa Membahayakan Kesehatan Anda?



Jering.id


,


Jakarta


– Masyarakat Indonesia tengah dihebohkan dengan kabar mengenai praktik pemindaian atau

scan retina

mata dengan imbalan uang tunai hingga ratusan ribu rupiah. Praktik tersebut berlangsung di sebuah ruko di kawasan Grand Boulevard, Desa Pusaka Rakyat, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Layanan itu akan memberikan imbalan uang ratusan ribu rupiah kepada warga yang bersedia menyerahkan

data pribadi

mereka melalui scan retina. Seorang warga, Devi, mengaku sengaja datang ke ruko tersebut untuk memindai retina matanya demi mendapatkan uang. “Mau scan mata untuk katanya pencairan (uang). Dijadwalkan pukul 12 (siang),” kata Devi kepada wartawan, Senin, 5 Mei 2025.

Di samping Devi, ada pula pengendara ojol bernama Udin yang datang ke tempat itu. Udin menyatakan kalau kunjugan kali ini adalah yang kedua untuk dirinya, setelah sebelumnya berhasil menerima uang senilai Rp 175 ribu dari proses scanning retina matanya. “Benar, ini klaim yang kedua,” katanya.

Udin menyebutkan bahwa langkah-langkah registrasi di Worldcoin ternyata sangat mudah. Pertamanya, dia datang ke kantor yang dituju dan disuruh memasang aplikasi bernama World App. Kemudiannya, dia perlu melihat satu buah video. Selepas selesai dengan aktiviti itu, mereka minta dia membuat pemindai mata. Tidak berapa lama selepas itu, Udin telah menerima wang tunai dalam jumlah beberapa ratus ribu rupiah.


Mengapa Scan Retina Berbahaya?

Pemindaian retina menghasilkan data biometri unik dan spesifik untuk masing-masing individu. Informasi ini tetap menempel pada orang tersebut dan tak dapat dimodifikasi. Data semacam itu berpotensi sebagai sistem keamanan yang sangat vital, namun juga bisa jadi sasaran utama para penjahat cyber.

Di luar retina, teknologi biometrik juga menggunakan pemeriksaan tambahan seperti sidik jari, format tangan, konfigurasi helix telinga, corak iris, nada suara, genom, serta tandatangan.

Pemindai retina menggunakan cahaya inframerah lemah yang ditujukan pada mata. Intensitas penyerapan dari cahaya tersebut oleh pembuluh darah dalam retina berbeda dibandingkan dengan area sekelilingnya, menciptakan sebuah pola unik yang kemudian dicatat oleh sensor dan diubah menjadi bentuk gambar digital.

Ciri khas pola pembuluh darah di retina mirip dengan sidik jari dan sangat sesuai untuk keperluan pengenalan serta konfirmasi identitas. Sebab retina akan rusak secara cepat pasca kematian, pemeriksaan semacam itu hanya dapat dilaksanakan pada orang yang masih hidup.

Apabila informasi itu sampai di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, bisa dipergunakan untuk meniru seorang individu dan melancarkan beragam jenis kejahatan. Sebagai contoh, dengan memanfaatkannya, pelaku jahat mungkin saja merampas identitas keuangan pihak lain, membuka kembali akun perbankan mereka, kartu kredit, atau malahan mendapatkan pinjaman dalam nama para korban tersebut.

Di samping itu, informasi biometri semacam ini bisa dimanfaatkan dengan tidak bertanggung jawab pada kasus-kasus penggelapan hak suara, misalnya mencoblos berulang kali atau mengambil bagian dalam hal-hal yang melibatkan konfirmasi identitas. Lebih dari itu, penyitaan rekam jejak biometri seperti cap jari atau gambar muka, bisa menimbulkan risiko atas jenis-jenis kejahatan material, termasuk masuk ke zona larangan tanpa izin ataupun mendukung para pelaku kriminal untuk merubah bentuk diri mereka dan menjalankan perbuatan ilegal.

Ahli hukum digital dari UI, Edmon Makarim, menegaskan adanya risiko tinggi penyalahgunaan informasi retina mata yang terkumpul. Ia berpendapat bahwa sebaiknya kita mengadopsi kebijakan seperti beberapa negeri lain yang sudah melarang hal ini demi perlindungan konsumen. Pernyataannya tersebut disampaikan dalam pesan elektronik kepada Tempo pada tanggal 6 Mei 2025.

Ia menegaskan bahwa data

biometrik

Merupakan aset pribadi yang perlu dijaga. Seharusnya tidak diajukan jika tak ada keperluan penting. Menurut Edmon, prosedur menghimpun, menimbun, serta memakai data biometri mesti dikerjakan bersama sistem proteksi yang kuat, melebihi standar biasanya untuk melindungi informasi personal.


Achmad Ghiffary Marwan, Andi Warsono,

dan

Raden Putri

bersumbang dalam penyusunan artikel ini.