Jering.id
,
Jakarta
– Di balik gemilangnya capaian
Jumbo
sebagai
film animasi
Indonesia terlaris sepanjang sejarah ada strategi berani yang dipertaruhkan rumah produksinya, Visinema. Film yang telah menyedot sekitar sembilan juta penonton ini bukan hanya hasil kerja kreatif, tapi juga taruhan finansial yang dirancang matang sejak awal.
“Dari awal, kami tahu Jumbo adalah proyek yang menuntut keberanian—bukan cuma secara kreatif, tapi juga finansial. Dan Visinema memutuskan untuk benar-benar bertaruh,” kata Founder sekaligus Chief Executive Officer (CEO)
Visinema
Angga Dwimas Sasongko kepada
Tempo
, Kamis, 8 Mei 2025. Pada hari itu, atau hari ke-38 penayangan sejak rilis bersamaan dengan libur Lebaran 2025 lalu, jumlah penonton Jumbo telah menembus angka 8,9 juta.
Angga mengaku kalau pendanaan film animasi ini murni dari sumber independen. Dia menyebut pendanaan kombinasi dari investasi internal, partner strategis, dan model pendanaan yang didesain sendiri agar
sustain
untuk jangka panjang. “Kami
enggak
Menantikan kesempatan yang tepat, kami menciptakan sendiri momentum tersebut. Sebab jika kita tidak yakin bahwa Jumbo dapat berkembang menjadi besar, maka siapakah lagi yang akan mempercayainya?” katanya.
Menurut Angga, keberanian tersebut juga terlihat dari bagaimana penyusunan skrip untuk cerita Jumbo dilakukan. Tanpa adanya plot yang rumit, film ini menjadi lebih mudah namun tetap efektif.
sutradarai
Ryan Adriandhy
Ini ternyata berhasil menarik perhatian sejumlah besar pemirsa dengan kekuatan emosi yang mendalam.
Perihal keberanian menyusun cerita ini, Angga turut menanggapi perspektif Kreator Si Juki, Faza Meonk. Menurut Faza, pencapaian Jumbo memang pantas dilihat sebagai kebangkitan bagi industri animasi lokal. Dia merinci keberhasilan film ini tidak hanya terletak pada kualitas teknis, tapi juga pada kemampuan untuk menyentuh emosi penonton. “Dari plot, mungkin bukan yang terbaik, tapi sangat menguras emosi penonton Indonesia,” ujarnya.
Angga setuju dengan pandangan itu. Sebaliknya dari menyajikan alur cerita yang rumit, ia menjelaskan bahwa Jumbo lebih bergantung pada daya tarik emosional untuk meraih penonton berbagai kalangan umur. “Sebenarnya kami tak berniat membuat narasi yang berteknik tinggi atau bercabang-cabang, namun fokus utamanya ada di aspek emosi,” ungkapnya.
Film Jumbo. Dokumenter oleh Visinema Studios
Anak-anak, kata Angga, mungkin tak memahami struktur naratif secara teknis tapi mereka akan membawa pulang perasaan yang tertinggal dari kisahnya. Sementara itu, bagi para orang tua, Jumbo menjadi pengingat akan hubungan-hubungan yang mungkin pernah renggang atau terlupakan. “Cerita harus mampu beresonansi ke semua kalangan dengan pendekatan penceritaan yang
accessible
buat semua.”
Angga juga menanggapi pandangan Jumbo sebagai salah satu proyek animasi lokal dengan dukungan pemerintah paling besar sejauh ini. Angga menegaskan bahwa Jumbo bukanlah proyek bantuan semata, melainkan semangat swadaya, dari kerja keras komunitas kreatif, yang dimiliki bersama.
“Dukungan yang kami terima lebih ke arah afirmasi dan kepercayaan,” ucapnya. “Misalnya lewat fasilitasi promosi, amplifikasi narasi Jumbo sebagai representasi kemajuan animasi Indonesia, dan tentu ada dukungan lewat kerja sama dengan kementerian untuk etalase ekonomi kreatif di Indonesia yang progresif, pendidikan dan penyebaran konten positif anak.”
Adinda Jasmine
berkontribusi dalam tulisan ini