Mengapa Bunyi Hewan Berbeda di Tiap Negara? Ketahui 6 Fakta Uniknya!

Pernah nggak sih kamu mikir-mikir, mengapa bunyi binatang itu beda-beda antar satu negara dengan yang lain? Contohnya kalo ayam di Indonesia nyanyi “kukuruyuk”, sedangkan di Inggris mereka sebut “cock-a-doodle-doo”. Di Jerman malahan jadi “kikeriki”. Meskipun jenis ayamnya sama persis, tetapi kok ya bunyinya bisa begitu beragam dari satu tempat ke tempat lain?

Ternyata jawabannya lebih kompleks daripada hanya sebuah terjemahan. Banyak hal seperti aspek linguistik, budaya, dan simbolik ikut berperan dalam bagaimana orang-orang di berbagai belahan dunia mereproduksi bunyi binatang. Mari kita bahas lebih jauh lagi!

1. Bahasa berdampak pada cara manusia mendengarkan sesuatu.

Alasan di balik ini adalah bahwa masing-masing bahasa memiliki metode khusus dalam mendengarkan dan mereplika bunyi. Suara “woof” yang didengar oleh pembicara bahasa Inggris dapat terdengar sebagai “wan-wan” bagi penduduk asli Jepang. Hal tersebut tidak bermakna anjing itu sendiri menggonggong dengan nada yang berlainan; melainkan perbedaan persepsi manusia yang menyebabkannya tampak begitu.

Menurut
the Language Nerds
Otak manusia biasanya memproses suara dengan menggunakan pola suara dari bahasa yang telah dipelajari sejak kecil. Oleh karena itu, walaupun Anda dan orang di negeri lain mendengarkan nada yang sama, caranya untuk merepresentasikannya dapat menjadi cukup berlainan. Itulah alasan mengapa bunyi binatang bisa tampak “beragam” antara satu negara dengan yang lainnya.

2. Onomatope dan fonetik yang bervariasi

Setiap bahasa punya aturan fonetik, artinya, hanya bunyi-bunyi tertentu yang bisa digunakan dalam kata-kata. Karena itu, ketika meniru suara hewan, orang dari negara yang berbeda akan menggunakan bunyi yang berbeda pula. Contohnya, suara anjing di Rusia adalah “gav-gav”, sedangkan di Korea jadi “yaong”.

Hal ini terjadi karena manusia hanya bisa menuliskan suara hewan dengan bunyi yang tersedia di bahasa mereka. Maka dari itu, kamu gak akan menemukan suara “th” khas bahasa Inggris dalam tiruan hewan di bahasa Jepang, karena bunyi itu gak eksis dalam sistem fonetik Jepang.

3. Huruf dan sistem suara menyusun kata

Di samping aspek fonetik, cara penulisan suara hewan pun dipengaruhi oleh sistem alfabet sebuah bahasa sebagaimana dijelaskan pada jurnal tahun 2017. Misalnya saja seperti Bahasa Jepang tidak memiliki karakter untuk huruf “L”, maka bunyi yang biasanya melibatkan huruf tersebut akan disubstitusi dengan karakter paling dekat dengannya. Hal ini juga berperan saat mereka mengeja atau mencatat suara-suara binatang, loh.

Misal, suara kucing dalam bahasa Inggris “meow”, sementara penutur Jepang menyebutnya “nyan-nyan”. Kenapa? Karena bahasa Jepang lebih nyaman dengan pola vokal-konsonan yang sederhana, dan “nyan-nyan” lebih cocok dengan struktur bahasa mereka.

4. Kebudayaan dan kenyamanan mempengaruhi bagaimana sesuatu direpresentasikan.

Bayangkan jika Anda hidup di negeri tanpa adanya kambing; kemungkinan besar akan kesulitan mendeskripsikan bunyi yang dikeluarkan oleh hewan tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa lingkungan sosial dan intensitas interaksi dengan binatang tertentu dapat mempengaruhi cara kita menggambarkannya, seperti hasil penelitian pada tahun 2012 dari University of London. Bangsa-bangsa yang memiliki hubungan dekat atau rutinitas kontak reguler dengan jenis ternakan tertentu cenderung memiliki deskripsi nada unik bagi setiap suaranya.

Sehingga, apabila ada hewan asing untuk masyarakat setempat, mereka dapat memilih istilah dari bahasa lain atau menciptakan analogi yang cocok dengan lenguanya sendiri. Sebagai contoh, bunyi kambing mungkin tidak memiliki kesesuaian dalam Bahasa Inggris, tetapi dikenal sebagai “grumph” di Australia dimana interaksinya dengan unta lebih umum di daerah pedesaan.

5. Elemen simbolis di balik bunyi binatang

Beberapa kata seruan yang menggambarkan suara hewan tidak seluruhnya didasari oleh bunyi aslinya, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh unsur kesimbolan. Sebagai contoh, anjing besar umumnya direpresentasikan dengan suara “wooof” atau “guk”, sementara anjing kecil justru digambarkan dengan nada “nyip” atau “ki-kiki”. Hal ini mencerminkan bahwa bunyi-bunyian tersebut turut menyampaikan arti ekstra, misalnya tentang ukuran maupun karakteristik si hewan tersebut.

Berdasarkan penelitian, terdapat pola tertentu dalam penggunaan nada tinggi dan rendah pada binatang. Burung yang memiliki suara bergaya tinggi cenderung memakai vokal “i” atau “e”, sedangkan hewan besar dengan bunyi lebih rendah seperti sapi menggunaka vokal “o” atau “u”. Misalkan saja kita dengar kata “chirp” digunakan untuk mewakili seekor burung kecil dan “moo” bagi kambing, ini tidak sekadar sebuah tiruan dari suara aslinya tetapi juga mencerminkan gambaran tentang ukuran serta nuansa suara tersebut secara umum.

6. Dialek binatang serta persepsi manusia

Meskipun sebagian besar perbedaan berasal dari manusia, ternyata beberapa hewan juga punya dialek regional. Pada tahun 1958, para peneliti di Universitas Cambridge, membuktikan jika burung
hermit thrush
di Amerika Utara punya lagu yang berbeda-beda tergantung wilayahnya. Hal ini terjadi karena mereka belajar suara dari sesamanya, dan suara itu bisa sedikit berbeda tergantung lingkungan.

Akan tetapi, variasi nada ini cukup minimal ketika dibandingkan dengan ragam suara yang ada pada manusia. Pengaruh yang lebih signifikan datang dari bagaimana manusia mendengarkan, menginterpretasikan, serta merekam bunyi-bunyian binatang tersebut.

Jadi, mengapa hewan-hewan memiliki bunyi yang beragam dari satu negeri ke negeri lainnya? Penjelasan utamanya adalah tidak adanya perubahan pada diri hewan tersebut sendiri, tetapi lebih kepada bagaimana pendengaran serta penulisannya mempengaruhi bahasa dan budayanya masing-masing. Dari sekarang, jika Anda mendengar seekor ayam bersuara “kukuruyuk” di Indonesia ataupun “kikeriki” di Jerman, ingatlah bahwa ini bukan disebabkan oleh perubahan suara asli si ayam, melainkan variasi persepsi manusia terhadap suara tersebut berdasarkan bahasanya mereka, oke?