Dinamika QRIS: Dipuja di ASEAN, Dikeluhkan Negeri Abang Sam

Di tengah hiruk pikuk transaksi digital Indonesia, sebuah standar pembayaran sederhana dan revolusioner hadir dan mengubah cara masyarakat bertransaksi: Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS.

QRIS dengan cepat meraih kesuksesan, dari desa hingga kota, dari restoran hingga gerobak pinggir jalan, menjadi motor penggerak ekonomi digital domestik.

Namun, di balik kemudahan yang ditawarkannya, QRIS tak luput dari perhatian. Ia bahkan disorot oleh negara adidaya sekaliber Amerika Serikat.


Genesis QRIS, Dari Pemisahan Menuju Persatuan

Sebelum kehadiran QRIS, sistem transaksi menggunakan kode QR di Indonesia mirip dengan suasana “Wild West”—tidak teratur dan bercabang. Para pedagang perlu menyiapkan berbagai jenis kode QR yang berasal dari platform pembayaran yang berbeda-beda. Di sisi lain, konsumen juga harus memastikan bahwa aplikasi mereka sesuai.

merchant

yang dituju. Kekacauan ini menciptakan ketidaknyamanan dan menghambat perluasan adopsi pembayaran digital.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok yang paling terpengaruh. Berbeda dengan perusahaan besar yang mampu menyediakan beragam metode pembayaran, UMKM sering kali mengalami kesulitan dalam menangani sejumlah besar kode QR, akun penyelesaian transaksi, serta prosedur reconciliasi di antara para penyedia jasa pembayaran.

Mengatasi permasalahan itu, QRIS muncul sebagai solusi penyelamat. Bank Indonesia mempermudah sistem dengan menggabungkan berbagai aplikasi pembayaran ke dalam satu kode QR agar lebih praktis dan user-friendly.

QRIS diresmikan oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2019 dan akan diberlakukan secara wajib mulai 1 Januari 2020. Standardisasi ini diciptakan melalui kolaborasi bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), sehingga sesuai dengan permintaan sektor industri.

QRIS tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga sebagian dari skema yang lebih luas.

Rencana Induk Sistem Pembayaran Indonesia Tahun 2025 (RISPI 2025)

Rencana tersebut mencerminkan harapan Bank Indonesia untuk menghasilkan sistem pembayaran yang lebih modern serta mendukung perkembangan ekonomi digital.

Sistem ini sejalan pula dengan arah global. Beberapa negara contohnya India dan Singapura sudah lebih dahulu merancang pedoman transaksi menggunakan kode QR. Bank Indonesia kelihatannya sedang menelaah serta menerapkan metode-metode serupa guna mendirikan suatu sistem yang handal, sambil tetap menjaga pengawasannya agar sesuai dengan persyaratan di Indonesia.

Secara singkat, QRIS tidak sekadar standar teknis, melainkan juga solusi untuk mengatasifragmentasi, mendorong inklusi keuangan, serta merupakan bagian dari upaya strategis dalamtransformasi digital di Indonesia.


Mentransformasi Pembayaran Jutaan Orang

Sejak peluncuranannya, QRIS telah mendapatkan penerimaan yang sangat baik dan memberikan pengaruh transformasi signifikan terhadap sistem pembayaran di Indonesia. Pada bulan Oktober tahun 2020 saja, jumlah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang memakai QRIS mencapai sekitar 3,6 juta unit. Lebih mengejutkan lagi, total nilainya meningkat dengan drastis dari angka Rp8,2 triliun pada tahun 2020 hingga mencapai ketinggian baru yaitu Rp695,9 triliun di tahun 2024.

Pada bulan Agustus tahun 2024, jumlah pemakai QRIS mencapai 50,5 juta orang, sementara itu angka tersebut terkait dengan peningkatan konsumennya.

pedagang yang memakainya mencapai 32,7 juta

—didominasi pelaku UMKM. Bahkan di tengah intervensi kebijakan Donald Trump, BI mencatat, pembayaran via QRIS terus tumbuh hingga kuartal I/2025.

Nilai transaksi dari pembayaran digital lewat sistem QR Indonesian Standard (QRIS) terus meningkat dengan pesat sebanyak 169,15% secara tahunan [YoY]. Hal ini ditopang oleh pertambahan jumlah penggunanya.

merchant

,” demikian ungkap Gubernur BI, Perry Warjiyo, seperti dilansir dari

Bisnis.com

.

Kesuksesan ini menunjukkan bahwa QRIS memang tepat dalam menyasar permintaan pasar, khususnya bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Keuntungan praktis yang dialami meliputi proses transaksi menjadi lebih sederhana, aman, dan kilat, peningkatan pendapatan, pengelolaan keuangan jadi lebih tertib, serta berkurangnya ketakutan akan uang tiruan.

Penelitian yang dilakukan oleh

Universitas Bina Bangsa

Bahkan menunjukkan kegunaan dari QRIS. Standardisasi tersebut memungkinkan proses transaksi menjadi lebih cepat dan bisa langsung direkam secara otomatis.

Minatannya, versi ahli ekonomi serta bisnis dari

Universitas Gadjah Mada

Nofie Iman Vidya Kemal menyatakan bahwa badai pandemi COVID-19 sebenarnya telah mempercepat penerapan sistemQRIS secara tak terduga. Ini berhubungan erat dengan peningkatan kebutuhan akan transaksi nontunai yang tidak melibatkan kontak fisik.

contactless

).

Tagline “Satu Kode QR untuk Semua” membentuk dampak jaringan yang signifikan: semakin banyak penjual yang menggunakan fitur ini, semakin berharga pula bagi para pelanggan. Sebaliknya pun demikian. Akhirnya, sistem pembayaran digital tumbuh dengan cepat.

Di luar hanya sebagai metode pembayaran, QRIS memiliki potensi untuk menjadi dasar dalam pengembangan jasa keuangan digital yang lebih besar, seperti evaluasi kredit untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) serta mendapatkan akses ke produk perbankan yang dulunya sulit dicapai.

Berdasarkan catatan transaksi di dalam sistem, Usaha Mikro Kecil Menengah dapat membentuk profil kredit. Ini akan memperluas kesempatan mereka untuk menerima pinjaman serta berbagai produk finansial lainnya sehingga dapat menumbuhkannya lebih lanjut.


QRIS Lintas Batas

Di luar penerapan dalam sistem domestik Indonesia, QRIS merupakan aset signifikan bagi ASEAN guna menghubungkan layanan finansial antar-negara. Melalui Konektivitas Pembayaran Regional (RPC), yang dimulai pada paruh kedua tahun 2022 dan melibatkan banyak negara di kawasan Asia Tenggara, proses transaksi cross-border menggunakan mata uang lokal jadi lebih ekonomis, kilat, serta efektif. Apalagi, RPC ini juga telah tersambung dengan Rencana Aksi G20 tentang Transaksi Antarprespektif Negara.

Pembayaran QRIS sudah

melangkah secara menyeluruh di Thailand, Malaysia, dan Singapura

Sejak pengujian pada Agustus 2021, hasilnya menunjukkan peningkatan transaksi oleh wisatawan asal Thailand sebesar 13% tiap bulannya (month-to-month/mtm), sementara itu para pelancong dari Singapura mengalami kenaikan hingga 28%. Hal ini membuktikan bahwa integrasi sistem pembayaran di Asean tak lagi sekadar impian dan telah memberikan dampak yang signifikan.

Selain itu, transaksi QRIS menggunakan mata uang lokal, sehingga kurang ketergantungan pada dolar AS. Hal ini sesuai dengan Local Currency Settlement (LCS), yang mengakibatkan biaya transaksi menjadi lebih murah serta menghindari kerumitan risiko fluktuasi nilai tukar.

Kolaborasi di antara sistem DuitNow (Malaysia), PromptPay (Thailand), PayNow (Singapura), serta QRIS menunjukkan komitmen ASEAN dalam hal ini.

menciptakan sistem finansial yang lebih otonom

, bukan hanya mengandalkan infrastruktur global.

Setelah berhasil mengembangkan jaringan di lingkungan ASEAN, Bank Indonesia berencana untuk menerapkan ekspansi sistem pembayaranQRIS secara internasional. Tujuannya adalah negara-negara besar termasuk India, Korea Selatan, Jepang, Uni Emirat Arab (UEA), serta Arab Saudi.

Kenapa memilih negara-negara tersebut? Di luar fakta bahwa mereka adalah mitra ekonomi kunci, ada sebab yang signifikan lainnya. Uni Emirat Arab dan Arab Saudi memiliki peranan vital dalam bidang perdagangan, investasi, serta menjadi destinasi bagi tenaga kerja migran dan calon jemaah haji dan umrah. Sebaliknya, India dikenal dengan industri digital besarnya. Sedangkan Jepang dan Korea Selatan unggul di ranah teknologi dan pariwisata.

Bank Indonesia juga telah mengambil tindakan yang signifikan. Mereka sudahakukan itu.

mengadakan kesepakatan bersama Korea Selatan dan Uni Emirat Arab

Diskusi yang sedang berlangsung melibatkan Arab Saudi, India, serta Korsel.


Kabar Suara dari Samudera Pasifik

Saat keuntungan dari transaksi digital standar mulai dirasakan di awal tahun 2025, negara-negara Barat justru mencampurkannya.

Laporan National Trade Estimate (NTE) 2025

, yang dirilis oleh Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat, menimbulkan kegemparan di kalangan publik. Karena isi kontennya, hal ini menjadi perbincangan.

menyinggung perihal QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) Indonesia

.

AS mengeluhkan BI karena tidak melibatkan perusahaan asing, seperti Visa dan Mastercard, saat membuat kebijakan QRIS. Mereka mengklaim, QRIS akan sulit terintegrasi dengan sistem pembayaran global.

“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi dengan sistem pembayaran yang ada dengan paling lancar,” demikian tertulis dalam laporan itu.

GPN juga tak luput dari kritik. Inisiatif itu dikeluhkan karena aturannya mewajibkan transaksi lokal diproses lewat lembaga

switching

di Indonesia. Hal itu secara tidak langsung membuat perusahaan asing susah masuk.

Laporan tersebut juga dipakai menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi Donald Trump dalam memberikan sanksi.

tarif 32 persen untuk produk-produk dari Indonesia

.

Pada intinyanya, AS menginginkan QRIS menjadi lebih “mudah” digunakan dalam konteks global. Sementara itu, tujuan Indonesia adalah untuk mendominasi infrastruktur serta data digital sehingga bisa lebih otonom. Hal ini tidak hanya berlaku bagi Indonesia, tetapi juga Thailand, Singapura, dan negara-negara anggota ASEAN lainnya yang sama-sama mendorong pengembangan sistem pembayaran lokal semacam itu.

Untuk Visa dan Mastercard, implementasi QRIS tentunya menjadi hal yang kurangi keuntungan mereka sebab transaksi dapat berlangsung secara langsung melalui akun bank atau e-wallet, menghilangkan penggunaan jalur kartu kredit yang umumnya dikuasai oleh kedua perusahaan tersebut. Selain itu, sistem pembayaran ini juga mempermudah serta meringankan biaya transaksi untuk para pemakainya.

Yang membuat AS tambah “panas” adalah data transaksi, yang tadinya bisa diintip untuk analisis pasar, sekarang lebih banyak stay di Indonesia. Selain itu, aturan BI No. 18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, yang membatasi kepemilikan asing di sektor pembayaran (maksimal 20 persen buat infrastruktur, 49 persen untuk hak suara), membuat ruang gerak perusahaan asing makin sempit.

QRIS, yang memberikan banyak manfaat untuk publik, sekarang menjadi pusaran badai dalam persaingan antara kedaulatan digital Indonesia dengan ambisi perusahaan multinasional besar. Di satu sisi, pemerintah Indonesia mengharapkan adanya sistem domestik yang tangguh, namun di sisi lain Amerika Serikat enggan melepaskan pengendalian mereka atas pangsa pasarnya serta datanya.


QRIS, Kekuasaan, dan Masa Depan Perbankan Digital

QRIS bukan cuma alat bayar, tapi juga lambang kemajuan inovasi Indonesia, inklusi keuangan, dan kedaulatan digital. Sebagai inovasi hemat, QRIS dirancang murah dan praktis. Pelaku UMKM dan konsumen hanya butuh ponsel untuk bertransaksi tanpa ribet.

Ekspansi ekosistem semakin memperluas peran QRIS sebagai fondasi utama dalam transformasi digital di Indonesia.

Merespons kritikan dari Negara Paman Sam,

Indonesia tidak tinggal diam

BI bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian secara jelas mengungkapkan bahwa QRIS dirancang sesuai dengan standar internasional dan masih membuka peluang untuk partisipasi asing, namun tujuan utamanya adalah memprioritaskan kepentingan dalam negeri.

Berusaha mengatasi tuduhan tentang kebijakan proteksionis, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa sistem QRIS menggunakan standar EMV Eropa namun disesuaikan dengan karakteristik lokal. Menteri Koordinator bidang Perekonomian,

Airlangga Hartarto

, juga memastikan bahwa perusahaan asing masih dapat terlibat dalam ekosistem QRIS dengan perlakuan yang adil.

Pada tingkat diplomatik, hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat cukup aktif dalam berdiskusi. Tim yang dipimpin oleh Airlangga melakukan perjalanan ke Washington D.C. guna mengeksplorasi masalah terkait QRIS serta tantangan perdagangan lainnya.

negosiasi mengenai kebijakan “tarif Donald Trump”

.

Para ahli ekonomi menyarankan supaya pemerintah Indonesia membentuk forum dialog antara perusahaan dalam negeri dan asing, atau mengizinkan mereka memiliki bagian tertentu dalam pengembangan sistem pembayaranQRIS. Akan tetapi, diperlukan juga adanya batasan seperti pertukaran teknologi yang dilakukan melalui server lokal demi mempertahankan nilai-nilai dasar tersebut.

“Selain itu, pihak berwenang harus meningkatkan strategi diplomatik ekonomi guna menyampaikan bahwa sistem pembayaran Quick Response Code Interbank (QRIS) tidak menghalangi, melainkan membuka kesempatan bagi kerjasama,” ungkap ahli ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, seperti yang dikutip media tersebut.

Indonesia Business Post

.

Sampai hari ini, QRIS tidak hanya menunjukkan diri sebagai sebuah sistem pembayaran, tetapi juga menjadi bukti kesuksesan Indonesia dalam menggabungkan pasaran yang terpisah-pisahkan tersebut, memperkuat jutaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), serta meningkatkan partisipasi finansial hingga taraf tertinggi yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Ketankah dirinya mengambil langkah ke pasar regional mencerminkan ambisi luasnya agar Indonesia menjadi pilar utama dalam skenario transaksi digital dunia.