Jering.id
,
Jakarta
– Sistem diagnosis
malaria
otomatis berbasis AI milik Badan Riset dan Inovasi Nasional (
BRIN
Akan dapat mengidentifikasi parasit melalui gambar mikросkopis pemeriksaan darah. Menurut peneliti dari Pusat Riset Kecerdasan Buatan dan Keamanan Siber (PR-KAKS) Badan RI Anto Satriyo Nugroho, teknologi tersebut bertujuan untuk mempercepat proses diagnosa serta meningkatkan ketepatannya, khususnya di daerah-daerah yang rawan penyakit berlangsung secara endemic.
“Tujuan utama kami adalah menciptakan sistem
Computer Aided Diagnosis
yang dapat mengenali status malaria secara otomatis dari citra apusan darah,” kata Anto dalam diskusi di Jakarta pada Rabu, 7 Mei 2025.
Menurut Anto, diagnosis malaria selama masih manual lewat mikroskop. Lantaran hanya bergantung pada keahlian petugas, prosesnya rentan keliru akibat kelelahan atau keterbatasan tenaga ahli.
Dalam penelitian ini, datanya diperoleh dari berbagai daerah endemik di Indonesia, seperti Kalimantan, Papua, dan Sumba. Tim PR-KAKS bekerja bersama Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN. Peneliti mendalami data 1.388 mikrofoto, mencakup berbagai jenis Plasmodium, termasuk
P. falciparum, P. vivax, P. malariae, P. ovale
, satu kasus infeksi gabungan, dan sebuah hasil uji negatif.
“Berdasarkan penelitian yang melibatkan 35 gambar elektronik dari kondisi sebenarnya di area berisiko tinggi Indonesia dan memeriksa total 3.362 sel, sistem tersebut membuktikan kapabilitasnya untuk mendeteksi parasit malaria dengan efektif,” jelas Anto.
Hasil tes awal mengindikasikan bahwa sistem memiliki tingkat kepekaan sebesar 84,37% dalam mendeteksi perbedaan antara sel yang sehat dan sel yang terinfeksi, dengan akurasi atau F1-score sebesar 80,60%, serta angka tersebut juga mencerminkan performanya.
positive predictive value
(PPV) sebesar 77,14 persen.
Sistem buatan BRIN itu juga dirancang untuk mempercepat survei darah massal dan memungkinkan diagnosis jarak jauh di daerah terpencil. Dalam kondisi endemis, Anto meneruskan, satu apusan darah bisa memerlukan pengamatan terhadap 500-1.000 eritrosit, atau 200 leukosit. “AI dapat mempercepat proses ini tanpa mengorbankan akurasi,” tuturnya.
Anto menekankan pentingnya kolaborasi multidisiplin dalam pengembangan teknologi AI di bidang biomedis. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan komputasi,” katanya. “Pemahaman atas konteks medis adalah kunci agar hasil diagnosis benar-benar bermanfaat bagi pasien.”
Ancaman Besar Malaria
Pakar Senior dari Pusat Penelitian Biologi Molekular Eijkman BRIN, Puji Budi Setia Asih menyebut bahwa malaria tetap merupakan tantangan besar dalam bidang kesehatan di Indonesia. Salah satu hambatan yang mereka hadapi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut adalah kurangnya sarana diagnosa yang efisien dan tepat sasaran di lapisan pelayanan dasar.
“Pendekatan berbasis kecerdasan buatan dengan fokus mikroscopis akan memperkuat ketajaman dan presisi diagnosis, hal ini penting bagi upaya penghapusan penyakit malaria,” jelas Puji melalui pernyataan tertulisnya.
Dia mengimbuhkan, diagnosis yang akurat merupakan tahap krusial dalam menentukan pengobatan dan penanganan lanjutan. Kecerdasan pintar diyakini dapat membantu menurunkan kasus malaria melalui deteksi dini dan pengobatan tepat waktu, terutama di daerah terpencil.
Tantangan lain soal belum adanya standarisasi pewarnaan gambar apusan darah. “BRIN berkomitmen untuk terus menyempurnakan sistem ini melalui riset kolaboratif dan uji coba lapangan,” kata Anto.